RSS
Hello! Welcome to this blog. You can replace this welcome note thru Layout->Edit Html. Hope you like this nice template converted from wordpress to blogger.

UU No. 36 Tentang Telekomunikasi


Penjelasan UU No.36 Tentang Telekomunikasi


Undang-undang Nomor 36 Tahun tentang Telekomunikasi, pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi telah menunjukkan peningkatan peran penting dan strategis dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintah an, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka wawasan nusantara, dan memantapkan ketahanan nasional serta meningkatkan hubungan antar bangsa. Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran sehingga dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.

Tujuan Penyelenggaraan Telekomunikasi

Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi yang demikian dapat dicapai, antara lain, melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan profesional dengan regulasi yang transparan, serta membuka lebih banyak kesempatan berusaha bagi pengusaha kecil dan menengah. Dalam pembuatan UU ini dibuat karena ada beberapa alasan,salah satunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi dan untuk manjaga keamanan bagi para pengguna teknologi informasi.

Berikut adalah beberapa pengertian yang terdapat dalam UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi:

1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik Iainnya;

2. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;

3. Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;

4. Sarana dan prasarana tetekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi;

5. Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio;

6. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;

7. Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi;

8. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara;

9. Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak;

10. Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;

11. Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;

12. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;

13. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan pengoperasiannya khusus;

14. Interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan telekomunikasi dan penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;

15. Menteri adalah Menteri yang ruang Iingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.

Keterbatasan UU Telekomunikasi Dalam Mengatur Penggunaan Teknologi Informasi (UU ITE)
Berikut adalah salah satu contoh pasal yang terdapat pada Undang-Undang No 36 Tahun 1999:
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No 36 Tahun 1999, Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.

Dari definisi tersebut, maka kita simpulkan bahwa Internet dan segala fasilitas yang dimilikinya merupakan salah satu bentuk alat komunikasi karena dapat mengirimkan dan menerima setiap informasi dalam bentuk gambar, suara maupun film dengan sistem elektromagnetik.

Penyalahgunaan Internet yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi dapat dikenakan sanksi dengan menggunakan Undang-Undang ini, terutama bagi para hacker yang masuk ke sistem jaringan milik orang lain sebagaimana diatur pada Pasal 22, yaitu Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:

a) Akses ke jaringan telekomunikasi
b) Akses ke jasa telekomunikasi
c) Akses ke jaringan telekomunikasi khusus

Menurut saya berdasarkan UU No.36 tentang telekomunikasi, disana tidak terdapat batasan dalam penggunaan teknologi informasi, karena penggunaan teknologi informasi sangat berpengaruh besar untuk negara kita. Karena kita dapat secara bebas memperkenalkan kebudayaan kita kepada negara-negara luar untuk menarik minat para turis asing dan tekhnologi informasi juga dapat digunakan oleh para pengguna teknologi informasi dibidang apapun.

Jadi keuntungannya juga dapat dilihat dari segi bisnis. Yaitu kita dengan bebas dan luas dapat memasarkan bisnis dalam waktu singkat. Jadi kesimpulannya menurut saya adalah, penggunaan teknologi informasi tidak memiliki batasan, karena dapat mnguntungkan dalam semua pihak.


Sumber: http://fikri-allstar.blogspot.com/2011/11/peraturan-dan-regulasi-uu-no-
36_16.html
http://dikyrosyadi.wordpress.com/2010/03/30/uu-no-36-tentang-telekomunikasi/
http://tmy-remind.blogspot.com/2011/03/penjelasan-uu-no36-tentang.html
http://denysetia.files.wordpress.com/2011/09/uu-36-1999-telekomunikasi.pdf

UU Informasi dan Transaksi


Undang-undang Informasi dan Transaksi



Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UUITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UUITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.


Sumber : wikipedia

UU No.19 Tentang Hak Cipta


UU No. 19 Tentang Hak Cipta

Hak cipta ??
Hak cipta (lambang internasional: ©, Unicode: U+00A9) adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.

Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau "ciptaan". Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri.

Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.

Hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Sebagai contoh, hak cipta yang berkaitan dengan tokoh kartun Miki Tikus melarang pihak yang tidak berhak menyebarkan salinan kartun tersebut atau menciptakan karya yang meniru tokoh tikus tertentu ciptaan Walt Disney tersebut, namun tidak melarang penciptaan atau karya seni lain mengenai tokoh tikus secara umum.

Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 butir 1).

Sejarah hak cipta ??
Konsep hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam bahasa Inggris (secara harafiah artinya "hak salin"). Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.

Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.

Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau "Konvensi Bern") pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.

Sejarah hak cipta di Indonesia ??
Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti.

Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia[1]. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.

Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.

Hak-hak yang tercakup dalam hak cipta
  • Hak eksklusif
    Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:

    * membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
    * mengimpor dan mengekspor ciptaan,
    * menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
    * menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
    * menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.

    Yang dimaksud dengan "hak eksklusif" dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.

    Konsep tersebut juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk "kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun"[2].

    Selain itu, dalam hukum yang berlaku di Indonesia diatur pula "hak terkait", yang berkaitan dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik, aktor, penari, dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.

    Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).

    Perlindungan Hak Cipta ??
    Di zaman modern ini, kesenian sudah merupakan bagian dari kehidupan manusia. Seni sebagai bagian dari kreatifitas manusia, mempunyai ciri yang unik dan spesifik. Tidak ada standar baku dalam menilai kualitasnya. Tidak ada pula petunjuk dan aturan yang kaku dalam proses penciptaannya. Karena bersifat individual maka seni juga berurusan dengan subjektifitas. Dari subjektifitas ini tidaklah mungkin memaksakan selera dalam menikmatinya. Akan tetapi yang pasti bahwa seni telah menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia sebagai makhluk yang berbudaya, untuk diciptakan kemudian dinikmati, sebagai hiburan maupun untuk diapresiasi.
    Hasil kemampuan intelektual dan teknologi disebut Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HaKI), yang merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (IPR). Digunakannya istilah HaKI bagi terjemahan IPR karena merupakan istilah resmi dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002.

    Di era global keberadaan dan perkembangan karya cipta musik dan lagu sebagai salah satu bagian yang dilindungi hak cipta, tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan industri teknologi (paten, know-how, dan lain-lainya). Industri ini dibentuk dari industri cultural yang menempati posisi yang cukup diperhitungkan. Posisi tersebut dengan mencontohkan Amerika Serikat sebagai negara Adidaya yang mengandalkan industri musik dan lagu sebagai sumber devisa dalam perdagangan internasionalnya. Industri ini juga merupakan salah satu komoditi yang paling potensial bagi transaksi perdagangan internasional, karena mempunyai segmen pasar yang sangat luas dan mampu melewati batas-batas negara. Selain itu musik dan lagu juga dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat tanpa mengenal batas usia. Dengan demikian musik dan lagu sebagai sebuah komoditas yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.

    Seni musik adalah salah satu jenis seni yang paling populer dalam kehidupan kita sehari-hari. Saat ini hampir di setiap saat dan setiap tempat musik dapat kita jumpai. Apalagi dengan adanya perkembangan teknologi yang semakin maju, keinginan orang untuk mendapatkan sekaligus menikmati musik semakin mudah dan semakin praktis. Kita dapat mendengarkan lagu-lagu dari artis-artis kesayangan kita yang “tersimpan” atau terekam dalam segulungan pita magnetik terbungkus kotak plastik, berukuran kira-kira 10 x 6 cm dengan ketebalan yang hanya sekitar 1 cm saja. Benda berupa media sumber suara ini adalah kaset (compact cassette). Dengan bantuan sebuah piranti elektronik tertentu, yang secara awam disebut tape recorder, bertugas memutar dan membaca sinyal-sinyal magnetik di atas permukaan pita tersebut. Oleh tape recorder sinyal-sinyal magnetik yang tersimpan dalam pita kaset diubah menjadi sinyal listrik dan akhirnya diubah lagi menjadi sinyal-sinyal suara di kedua pengeras suaranya. Maka lagu yang tersimpan dalam kaset tadi dapat didengarkan dan dinikmati.
    Terbentuknya sebuah kaset berisi misalnya rekaman lagu-lagu itu pada hakekatnya telah melalui proses yang cukup panjang. Melalui rangkaian kegiatan produksi dan ekonomi yang saling terkait. Pihak-pihak yang menunjang produksi ini antara lain adalah pencipta lagu, produser perusahaan rekaman, artis penyanyi, arranger (penata musik), musisi pendukung rekaman, produsen kaset kosong, distributor/penyalur sampai ke pengecer (retail) dalam hal ini toko kaset. Proses penciptaan sebuah karya sampai pada produksi perekaman dan penggandaan kemudian dipasarkan kepada umum sudah merupakan industri tersendiri. Keberadaannya diakui oleh negara seperti halnya industri-industri lain.
    Secara proposional, dalam keadaan ideal sebenarnya industri perekaman suara dengan kaset sebagai wahana produksinya, menguntungkan semua pihak yang terkait. Akan tetapi mengingat bidang usaha ini mempunyai prospek yang baik secara ekonomis maka ada pihak-pihak tertentu yang ikut menumpang menggunakan jalan pintas secara tidak sah dan tidak adil dengan tujuan mendapatkan keuntungan ekonomis tertentu. Dengan merekam ulang dan memperbanyak tanpa seizin pencipta dan produsernya serta memasarkannya dengan secara sembunyi-sembunyi, mereka dapat meraup keuntungan dalam jumlah besar tanpa harus membiayai komponen-komponen produksi lainnya, misalnya honor pencipta, artis, studio, dan lain-lain. Penggandaan hingga pemasarannya secara ilegal ini lazim disebut tindakan pembajakan kaset.
    Produser dan seniman pencipta karya adalah pihak yang paling dirugikan oleh praktek pembajakan kaset ini. Biasanya kaset bajakan dijual dengan harga yang lebih murah dengan kualitas perekaman yang semakin baik, sehingga secara umum hampir tidak bisa dibedakan dengan kaset yang asli. Ketika dihadapkan pada dua pilihan ini, konsumen, tentu saja, akan cenderung memilih produk yang harganya lebih murah dalam hal ini kaset bajakan tersebut. Akibatnya peningkatan penjualan kaset asli menjadi terhambat, karena pasar telah terisi oleh kaset bajakan. Apabila produser memberlakukan sistem royalti pada penciptanya, maka akibat yang diterima penciptanya adalah tidak dapat menerima royalti dari sejumlah kaset yang beredar di pasaran, karena produk bajakan.
    Keadaan yang demikian ini membuat industri rekaman rugi dan terancam gulung tikar, karena beaya produksi tidak diimbangi keuntungan yang wajar. Secara tidak langsung menjadi penghambat kreatifitas lahirnya karya-karya seni sebab sipencipta takut, gamang dan tidak bergairah untuk berkarya. Di sisi lain pemerintahpun akan merugi karena pemasukan pajak yang diharapkan dari penjualan kaset ini menjadi berkurang.
    Perlindungan hak cipta pada umumnya berarti bahwa penggunaan atau pemakaian dari hasil karya tertentu hanya dapat dilakukan dengan ijin dari pemilik hak tersebut. Yang dimaksud menggunakan atau memakai di sini adalah mengumumkan, memperbanyak ciptaan atau memberikan ijin untuk itu.
    Dalam kerangka perlindungan hak cipta, hukum membedakan dua macam hak, yaitu hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi berhubungan dengan kepentingan ekonomi pencipta seperti hak untuk mendapatkan pembayaran royalti atas penggunaan (pengumuman dan perbanyakan) karya cipta yang dilindungi. Hak moral berkaitan dengan perlindungan kepentingan nama baik dari pencipta, misalnya untuk tetap mencantumkan namanya sebagai pencipta dan untuk tidak mengubah isi karya ciptaannya.
    Pelaksanaan perlindungan hak ekonomi biasanya dititikberatkan pada pembayaran royalti. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa seorang pencipta musik dan lagu untuk menghasilkan karya seni itu telah melakukan pengorbanan waktu dan tenaga dan sudah selayaknya sang pencipta menuntut perolehan keuntungan ekonomi dari pengorbanan tersebut.
    Sehubungan dengan perlindungan hak ekonomi pencipta karya cipta musik dan lagu, pranata hukum belum berperan secara baik untuk melindungi hak ekonomi pencipta. Kemajuan teknologi yang luar biasa, menghadirkan berbagai peralatan canggih, berdaya guna tinggi dengan sistem pengoperasian sederhana, membuka peluang bagi pelanggaran, misalnya dengan cara merekam ulang karya cipta musik dan lagu tanpa seijin pencipta. Dihadapkan pada realitas tersebut yang menawarkan peluang secara ekonomi sagat menjanjikan keuntungan. Logika pelanggaran hak cipta adalah keberanian untuk mengambil resiko melawan hukum. Di samping itu apresiasi masyarakat yang rendah terhadap karya dari pencipta musik dan lagu antara lain dengan membeli kaset bajakan dengan harga murah meskipun dengan mutu rendah, ikut mempengaruhi pelanggaran hak cipta. Pembajakan karya seni ternyata tak mengenal orang dan makin menggila di Indonesia. Buktinya, pencipta lagu asal Bali yang lama bermukim di Jakarta, sekarang menetap di kota kelahirannya di Denpasar yaitu Bapak Wedha Asmara, pencipta lagu “Senja di Batas Kota” dan “ Kau Selalu Dihatiku” telah menjadi korbannya. Pembajak musik dan lagu mempunyai pangsa pasar. Barang bajakan mudah diperoleh dan merupakan hal yang biasa dilihat sehari-hari, padahal diketahui hal itu merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap perlindungan hukum terhadap pencipta yang telah dicakup dalam Undang-undang Hak Cipta Tahun 2002.

Peraturan dan Regulasi


PERATURAN dan REGULASI

Perbandingan Cyber Law
Untuk cyber law, saya cukup familiar mendengarnya. Tapi untuk computer crime act dan council of europe convention, masih terasa asing bagi saya. Yang dapat saya tangkap, ketiganya berhubungan dengan Law on Cyber Crime.
Karena itu sebelum membahas perbandingannya, sebaiknya kita mengetahui arti dari masing-masing bahasan di atas.
  1. Cyber Law, merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh negara tertentu dan peraturan tersebut hanya berlaku bagi warga negara dari negara tersebut. Dengan kata lain cyber law berbeda-beda di setiap negara, tergantung kebijakan negara tersebut. Namun sumber lain menyebutkan, Cyber Law merupakan hukum untuk pelanggaran di dunia IT yang dibuat oleh pemerintah Indonesia. Munculnya Cyber Law di Indonesia dimulai sebelum tahun 1999. Focus utama pada saat itu adalah pada “payung hukum” yang generic dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana. Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya. Cyber Law digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada Cyber Law ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui internet.
  1. Computer Crime Act merupakan undang-undang yang dibuat untuk pelanggaran berkaitan dengan penyalahgunaan komputer. Computer Crime Act (Akta Kejahatan Komputer) yang dikeluarkan oleh Malaysia adalah peraturan Undang-Undang (UU) TI yang sudah dimiliki dan dikeluarkan negara Jiran Malaysia sejak tahun 1997 bersamaan dengan dikeluarkannya Digital Signature Act 1997 (Akta Tandatangan Digital), serta Communication and Multimedia Act 1998 (Akta Komunikasi dan Multimedia).
  1. Council of Europe Convention, merupakan salah satu organisasi internasional yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan di dunia maya, dengan mengadopsikan aturan yang tepat dan untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam mewujudkan hal ini. Counsil of Europe Convention on Cyber Crime merupakan hukum yang mengatur segala tindak kejahatan komputer dan kejahatan internet di Eropa yang berlaku pada tahun 2004, dapat meningkatkan kerjasama dalam menangani segala tindak kejahatan dalam dunia IT. Council of Europe Convention on Cyber Crime berisi Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU-PTI) pada intinya memuat perumusan tindak pidana.

Sumber :
http://d1maz.blogspot.com/2012/03/perbedaan-cyberlaw-di-negara-negara.html
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/04/perbandingan-cyber-law-computer-crime-act-dan-council-of-europe-convention-on-cybercrime/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/05/peraturan-dan-regulasi/VN:F [1.6.8_931]


 
Copyright 2009 just for fun. All rights reserved.
Free WordPress Themes Presented by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy